kamu orang beruntung yang ke :

Sabtu, 07 Mei 2016

Zaman Literasi Sudah Kembali?



Assalamualaikum readers.
Sebagai pengamat sosial amatiran, akhir-akhir ini tampak secercah harapan dari kalangan kaum muda terpelajar. Tampaknya berlomba-lomba upload foto selfie cantik dan ganteng, atau foto-foto hedon bukan lagi menjadi kiblat ke-eksisan anak muda. Bermula dari kesukaan scrolling-scrolling timeline sosial media… Setiap ada isu hangat yang muncul di publik, pasti disertai dengan bermunculannya narasi-narasi indah anak muda, atau beberapa paragraf argumentasi yang membuat kita pembacanya tidak mau berhenti membaca sampai selesai. Apalagi berkat adanya fitur “like” dan “share” yang dimiliki kebanyakan sosial media, rangkaian kata-kata indah itu dengan mudahnya disebarkan dari sepasang mata ke ribuan pasang mata lainnya. 

Apakah ini baik? Menurut saya iya. (well, kali ini aku akan menggunakan kata ganti ‘saya’ seperti yang banyak digunakan di literasi-literasi anak muda). Bukankah lebih indah kalau anak-anak muda Indonesia bangga memposting tulisan orisinalnya dibanding memposting foto perayaan anniversary 5 bulan pacarannya? Bukankan lebih indak kalau anak-anak muda Indonesia memposting solusinya terhadap berbagai permasalahan disekitar dibanding melakukan sesuatu yang tidak berfaedah seperti coret-coret baju dan konvoy saat hari pengumuman ujian nasional?

Lalu apakah kemampuan literasi ini adalah bakat, yang hanya dimiliki orang-orang  tertentu saja – yang kalo ngepost tuh likenya bisa ribuan itu lho- ?

Saya rasa tidak sepenuhnya iya. Semua orang bisa berliterasi. BISA. ASAL. MAU. ITU. AJA.SIH.

Semua orang bisa berliterasi. Cuma ada yang suka ada yang enggak. Tipe-tipe introvert lebih suka menuangkan perasaan atau pemikirannya dalam bentuk tulisan. Sementara extrovert kebalikannya.
Semua orang bisa berliterasi. Cuma ada yang terbiasa ada yang enggak. Ada yang sudah membiasakan diri, tapi tetap ngerasa nggak bisa. Bisa jadi yang satu ini terus-terusan nyoba nulis, tapi nggak mau baca, atau nggak berani di kritik supaya tau kesalahannya. Ada pula yang jarang nulis tapi sekali nulis tulisannya keren, ini bisa jadi faktor bakat, kecerdasan bahasanya diatas rata-rata. 

Saya sendiri, berdasarkan tes DMI – lupa kepanjangannya, pokoknya tes yang pake sidik jari itu lho- kecerdasan bahasaku memang bukan kecerdasan dominan, tapi Alhamdulillah sejak sd suka ikut lomba-lomba menulis (gini-gini pernah menang lho), dan sudah mulai nulis di spidol merah jambu sejak kelas 1 smp. (walaupun kualitasnya masih kasta sudra di dunia literasi >.<)

Semua orang bisa berliterasi. Cuma gayanya beda-beda. Dan bersyukurlah kalau gaya berliterasi kamu disukai banyak orang sehingga diserbu pembaca. Kalau nggak disukai? Mungkin kamu hanya belum menemukan orang-orang yang selera literasinya sama ;)

Saya punya teman yang gaya literasinya suka beranalogi. Saya rasa ini gaya literasi yang sangat cerdas. Super! Coba bayangin mau nulis “saya sedang senang karena dapet hadiah” tapi dia nggak simply nulis begitu, tapi pake analogi. Tapi kelemahannya, nggak semua orang paham analogi dia, dan berakhir dengan “apaan sih?”. Tapi buat yang paham, tulisannya terasa keren.

Fyi, foto diawal-sekali-tadi adalah salah satu penyemangat dari waktu ke waktu buat menulis. Terlalu sayang melewatkan pelajaran-pelajaran di hidup ini, jadi tulislah, mulai sekarang ^^




Related Post:

0 komentar:

Posting Komentar