Assalamualaikum readers.
Sebagai pengamat sosial amatiran, akhir-akhir ini tampak
secercah harapan dari kalangan kaum muda terpelajar. Tampaknya berlomba-lomba
upload foto selfie cantik dan ganteng, atau foto-foto hedon bukan lagi menjadi
kiblat ke-eksisan anak muda. Bermula dari kesukaan scrolling-scrolling timeline
sosial media… Setiap ada isu hangat yang muncul di publik, pasti disertai
dengan bermunculannya narasi-narasi indah anak muda, atau beberapa paragraf
argumentasi yang membuat kita pembacanya tidak mau berhenti membaca sampai
selesai. Apalagi berkat adanya fitur “like” dan “share” yang dimiliki
kebanyakan sosial media, rangkaian kata-kata indah itu dengan mudahnya
disebarkan dari sepasang mata ke ribuan pasang mata lainnya.
Apakah ini baik? Menurut saya iya. (well, kali ini aku akan
menggunakan kata ganti ‘saya’ seperti yang banyak digunakan di
literasi-literasi anak muda). Bukankah lebih indah kalau anak-anak muda
Indonesia bangga memposting tulisan orisinalnya dibanding memposting foto
perayaan anniversary 5 bulan pacarannya? Bukankan lebih indak kalau anak-anak
muda Indonesia memposting solusinya terhadap berbagai permasalahan disekitar
dibanding melakukan sesuatu yang tidak berfaedah seperti coret-coret baju dan
konvoy saat hari pengumuman ujian nasional?
Lalu apakah kemampuan literasi ini adalah bakat, yang hanya
dimiliki orang-orang tertentu saja –
yang kalo ngepost tuh likenya bisa ribuan itu lho- ?
Saya rasa tidak sepenuhnya iya. Semua orang bisa berliterasi.
BISA. ASAL. MAU. ITU. AJA.SIH.
Semua orang bisa berliterasi. Cuma ada yang suka ada yang
enggak. Tipe-tipe introvert lebih suka menuangkan perasaan atau pemikirannya
dalam bentuk tulisan. Sementara extrovert kebalikannya.
Semua orang bisa berliterasi. Cuma ada yang terbiasa ada
yang enggak. Ada yang sudah membiasakan diri, tapi tetap ngerasa nggak bisa. Bisa
jadi yang satu ini terus-terusan nyoba nulis, tapi nggak mau baca, atau nggak
berani di kritik supaya tau kesalahannya. Ada pula yang jarang nulis tapi
sekali nulis tulisannya keren, ini bisa jadi faktor bakat, kecerdasan bahasanya
diatas rata-rata.
Saya sendiri,
berdasarkan tes DMI – lupa kepanjangannya, pokoknya tes yang pake sidik jari
itu lho- kecerdasan bahasaku memang bukan kecerdasan dominan, tapi
Alhamdulillah sejak sd suka ikut lomba-lomba menulis (gini-gini pernah menang
lho), dan sudah mulai nulis di spidol merah jambu sejak kelas 1 smp. (walaupun
kualitasnya masih kasta sudra di dunia literasi >.<)
Semua orang bisa berliterasi. Cuma gayanya beda-beda. Dan
bersyukurlah kalau gaya berliterasi kamu disukai banyak orang sehingga diserbu
pembaca. Kalau nggak disukai? Mungkin kamu hanya belum menemukan orang-orang
yang selera literasinya sama ;)
Saya punya teman yang gaya literasinya suka beranalogi. Saya rasa ini gaya literasi yang sangat cerdas. Super! Coba bayangin mau
nulis “saya sedang senang karena dapet hadiah” tapi dia nggak simply nulis
begitu, tapi pake analogi. Tapi kelemahannya, nggak semua orang paham analogi dia,
dan berakhir dengan “apaan sih?”. Tapi buat yang paham, tulisannya terasa
keren.
Fyi, foto diawal-sekali-tadi adalah salah satu penyemangat dari waktu ke waktu buat menulis. Terlalu sayang melewatkan pelajaran-pelajaran
di hidup ini, jadi tulislah, mulai sekarang ^^
0 komentar:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Posting Komentar